Akhir tahun kemarin, aku kena damprat oleh seseorang yang tak ingin kusebutkan namanya. Ia menagih apa yang tidak benar-benar aku janjikan, kecuali pernah memberitahunya, hanya sepintas lalu saja, tentang satu proyekan pribadi yang akan kuselesaikan tepat pada saat aku kena damprat. Kendati aku sendiri merasa tidak pernah berjanji, si pendamprat itu menganggapnya serius dan merasa berhak pula untuk mendampratku ketika mendapati proyekan pribadiku tidak selesai sama sekali.
Katanya, aku ini pemalas. Dan lain sebagainya. Dan lain sebagainya, dan seterusnya. Aku terpelongo sendiri mendengarnya nyerocos tak menentu. Sama sekali tak menyangka ternyata masih ada orang seperhatian ini padaku. Satu sisi aku terharu. Tapi di sisi lain aku penasaran dengan motifnya. Kenapa ia bisa seserius ini dengan ide usang yang setelah kugagas malah tidak kumulai sama sekali. Bahkan kalau boleh jujur, aku sudah melupakannya tepat setelah aku membicarakannya dengan si pendamprat.
Ia mengelak memberikan alasannya kecuali balik bertanya. "Jadi apa alasanmu hingga proyekan itu tak selesai?" tanyanya.
"Malas!" jawabku singkat.
"Sudah kuduga. Apa kubilang tadi. Kau memang pemalas orangnya. Kau tidak becus, bahkan dengan idemu sendiri."
"Tidak semua ide harus dikerjakan segera. Lagi pun butuh waktu lebih untuk mengerjakan ide proyekan yang pernah kubilang itu," aku mencoba membela diri.
"Maksudnya waktu lebih untuk terus bermalasan, kan?" ia berusaha memojokkanku.
"Kurang lebih begitu."
"Asu!" Si pendamprat mengumpat.
Aku terbahak. Ia mendelik hebat. Aku geli sendiri.
Kalau boleh meminjam sepenggal lirik salah satu lagu Iwan Fals, si pendamprat ini sebenarnya adalah kawanku punya teman. Aku dengannya tidak akrab-akrab amat, kecuali hanya sering bertukar basa basi di meja kopi. Kebetulan ia sering diajak kawanku punya teman, ngopi di kedai kopi tongkronganku, dan dari situlah aku mulai mengenalnya, pun sebaliknya.
Dari meja kopi yang sama, aku jadi kenal wataknya dan secara sepihak ini orang kumasukkan dalam klasifikasi teman yang tak perlu kuakrabi sedemikian rupa. Terutama jika merujuk pada petingkahnya yang suka motong pembicaraan orang tanpa jelas juntrungan, merasa paling banyak punya informasi penting, suka sok tahu, ditambah pula merasa diri punya koneksi dengan pejabat publik khususnya perwira militer dan polisi, dan satu lagi: suka ngeklaim punya andil besar atas segala kesuksesan orang lain. "Si itu bisa begitu, kan karena aku pernah ngelobi si Bapak anu," begitu yang sering keluar dari mulutnya saat membicarakan kesuksesan seseorang yang sama-sama kami kenal.
Tapi kendati si pendamprat ini bukanlah karibku, tempat tongkrongan yang sama membuatku sering terjebak dalam satu meja kopi dengannya. Dan kondisi ini sering mengharuskanku untuk mengarang banyak hal padanya. Itu tidak lain harus kulakukan oleh karena keyakinanku sendiri bahwa sebaik-baiknya cara menghadapi orang dengan tipikal banyak mulut adalah dengan banyak mulut juga. Kau harus pintar-pintar berbual, harus tampak punya kesibukan yang tidak bisa dijangkau pikirannya. Karena kalau tidak demikian, kau tak lebih jadi seorang pesakitan yang melulu bertindak sebagai mesin angguk untuk mengiyakan segala bualannya. Sungguh, nongkrong di kedai kopi dalam kondisi sepesakitan ini adalah alamat buruk, dan aku tidak mau menanggung alamat buruk seperti itu.
Itulah sebabnya kenapa aku kerap mendahului berbual ketika tengah terjebak satu meja kopi dengan si teman yang tak perlu dianggap ini. Salah satunya adalah rencana proyekan fiktif yang detilnya saja aku tak pernah memikirkannya sama sekali. Pertanyaannya, bagaimana bisa si pendamprat ini percaya begitu saja sampai-sampai ia merasa harus mendampratku karena tidak berhasil mengerjakannya? Kau tahu, orang besar mulut dengan tipikal si pendamprat seperti yang kusebutkan di atas tadi, biasanya punya tingkat kepolosan yang amat sangat.
Selama kau bisa menampakkan diri punya suatu kelebihan yang sama sekali tak sanggup dijangkau pikirannya, selama itu pula kau bisa menguasainya. Padanya kau boleh berbual apa saja, meski pada tahap tertentu, kau akan mengalami kesialan seperti yang kualami akhir tahun lalu itu. Tapi sungguh, itu kesialan yang tak perlu dimasukkan ke hati, kecuali cukup kau hadapi saja ianya dengan bualan yang lain lagi. Demikianlah.