The journey under the mist.
I went through a tough week because of a journey that should have been celebrated with joy. Since leaving, I could feel something was wrong. Your shadow always haunted me throughout the journey. When eating at our usual place, I sent a message to ask for your prayers so that the journey would go smoothly.
And that was the beginning of your anger. You replied rudely about a wounded heart because the man she loved was on a long journey with another woman. After that message, the beauty of months behind, evaporated who knows where.
The night before, I watched a live broadcast in the bathroom when we were getting close and you were so romantic, so attentive. We showed surprises without me asking, that was one of the things that made me drunk and loved you even more.
We shared stories about anything when clear water poured over your body which was also clear. It was truly a beautiful sight that would be a waste if it were just let it pass. I felt like I had to immortalize it in a series of lines of poetry, because I can't paint. I've said it before, I want to write a thousand poems about you and everything related to us.
When I came home and you were already lying down in a five-star hotel room in the nation's capital, you sent a beautiful message. You apologized for making me spend long, tiring nights when I should have been able to rest comfortably.
"I will sacrifice for you as much as I can," I replied.
I really didn't expect that when later, when I returned from my trip, you sent several messages that brought down the sky. How short my happiness, your happiness, our happiness because we have not been able to make peace with the conditions that existed before we were together.
During the night in the destination city, I celebrated the success of my first daughter's studies in confusion. I couldn't enjoy anything, let alone being hit by unbearable drowsiness.
Then on the way home, you sent a tsunami in several messages. I couldn't accept that so I had to speed up in confusion and contact you. I couldn't accept that, I refused. But you only agreed to calm me down for a moment so I could continue my journey.
I am tired and lying in bed because tomorrow morning I have to continue my journey to the land above the clouds, a place where we once had beautiful memories there. However, those memories now feel painful.
I never give up on saving everyone. And I hope for a miracle.[]
Tsunami Dalam Perjalanan di Bawah Kabut
Aku melalui pekan yang berat karena sebuah perjalanan yang seharusnya dirayakan dengan kegembiraan. Sejak berangkat, aku bisa merasakan sesuatu yang tidak beres. Bayanganmu selalu menghantui sepanjang perjalanan. Ketika makan di tempat yang biasa kita makan, aku mengirim pesan untuk meminta doa darimu agar perjalanan bisa berjalan lancar.
Dan itulah awal dari kemurkaanmu. Kamu membalas dengan kasar tentang hati yang luka karena lelaki yang dicintainya melakukan perjalanan panjang dengan perempuan lain. Setelah pesan itu, keindahan berbulan-bulan di belakang, menguap entah ke mana.
Malam sebelumnya, aku menyaksikan siaran langsung di kamar mandi ketika kita menjalin keakraban dan kamu begitu romantis, begitu penuh perhatian. Kami memperlihatkan kejutan tanpa kuminta, itulah salah satu yang membuatku mabuk dan semakin mencintaimu.
Kita berbagi kisah tentang apa saja ketika air bening mengguyuri tubuhmu yang juga bening. Sungguh itu suatu pemandangan indah yang mubazir jika dibiarkan berlalu begitu saja. Aku merasa harus mengabadikannya dalam untaian baris-baris puisi, sebab aku tidak bisa melukis. Aku sudah pernah mengatakannya, ingin menulis seribu puisi tentangmu dan semua hal yang berkaitan dengan kita.
Ketika aku pulang dan kamu sudah rebah di sebuah kamar hotel bintang lima di ibu kota negara, kamu mengirimkan sebuah pesan yang indah. Kamu meminta maaf karena telah membuatku melewatkan malam-malam panjang dengan melelahkan di mana seharusnya aku bisa beristirahat dengan nyaman.
“Aku akan berkorban untukmu semampuku,” balasku.
Sungguh tak menyangka ketika kemudian, sepulangnya aku dalam perjalanan, kamu mengirim beberapa pesan yang meruntuhkan langit. Betapa pendek kebahagiaanku, kebahagiaanmu, kebahagiaan kita karena belum bisa berdamai dengan kondisi yang sudah ada sebelum kebersamaan kita.
Selama semalaman di kota tujuan, kesuksesaan studi sang putri pertama kurayakan dalam kegamangan. Aku tidak bisa menikmati apa pun, apalagi didera rasa kantuk yang tak tertahankan.
Lalu dalam perjalanan pulang, kamu mengirim tsunami dalam beberapa pesan. Aku tidak bisa menerima itu sehingga harus mengebut dalam kegamangan dan menghubungimu. Aku tidak bisa menerima itu, aku menolak. Tapi kamu hanya mengiyakan untuk meredamku sekejap agar bisa melanjutkan perjalanan.
Aku lelah dan terkapar dalam tidur sebab besok pagi harus melanjutkan perjalanan ke negeri di atas awan, tempat di mana kita pernah punya kenangan indah di sana. Namun, kenangan itu kini terasa menyakitkan.
Aku tidak pernah menyerah untuk menyelamatkan semuanya. Dan aku berharap keajaiban.[]