Ke Pulo Aceh: Sepanjang Lampulo - Gugop

in #hive-1534763 years ago

IMG_20220122_142035.jpg

KETIKA DIAJAK pergi ke Pulo Aceh oleh seorang teman hari Kamis pekan kemarin, aku langsung mengangguk. Menolak ajakan seperti ini, apalagi ke Pulo Aceh, apalagi tak punya kesibukan lain, kukira, sama halnya seperti jomblo yang menolak ajakan nikah perempuan cantik, lagi religius, kaya, dan keturunan orang punya nama pula. Rugi betul. "Kita berangkat Sabtu pagi, ya," kata temanku. "Kita kumpul di Lampulo saja," tambahnya lagi.

Begitulah ihwalnya. Sabtu yang cerah lepas dhuhur, 22 Januari 2022, sekira pukul 13.38 WIB aku sudah berada di Lampulo, satu kampung di muara sungai Krueng Aceh, tempat di mana pelabuhan penyeberangan menuju Pulo Aceh berlokasi.

Meski kusebut pelabuhan, jangan bayangkan tempat ini penuh dengan kapal feri layaknya Pelabuhan Bakauheni atau Pelabuhan Merak, atau Tanjung Priok, Tanjung Perak atau apalah nama pelabuhan-pelabuhan besar lainnya. Tidak. Pelabuhan yang kumaksud di sini adalah pelabuhan kecil belaka. Bahkan, sejatinya ini bukan pelabuhan, kecuali sekadar tempat boat para nelayan ditambat setelah pulang melaut, yang karena lokasinya strategis disulap jadi pelabuhan sederhana.


IMG_20220122_134810.jpg
IMG_20220122_135606.jpg
Suasana Pelabuhan Lampulo dan boat penumpang yang tengah siap-siap angkat sauh.


Dan memang, yang bersandar di pelabuhan ini bukanlah kapal feri, melainkan hanya boat nelayan yang--karena buruknya tabiat Pemerintah dalam urusan pemenuhan hak rakyatnya--dialihfungsi oleh pengusaha perikanan lokal menjadi boat penumpang. Kecuali Jumat, saban hari bebedapa boat kayu ini bolak balik Pulo Aceh - Banda Aceh.

Setiba di Lampulo, ada dua boat yang tengah muat barang sekaligus penumpang. Satu boat menuju Pelabuhan Lampuyang, satunya lagi Pelabuhan Gugop. Dua nama pelabuhan ini berlokasi di pulau yang sama; Pulo Breuh, tapi letak persisnya di ceruk teluk yang berbeda.

Biar jelas konteks. Pulo Aceh adalah satu kecamatan kepulauan dalam lingkup administrasi Kabupaten Aceh Besar. Letaknya sekira 20-an mil di sebelah barat laut Kota Banda Aceh. Ada puluhan pulau dalam gugusan kecamatan kepulauan ini. Namun warganya hanya berhimpun dan beranak pinak di dua pulau saja; yaitu Pulo Breuh dan Pulo Nasi.

Sebelum bencana smong (tsunami), sebenarnya ada satu pulau lagi yang berpenghuni. Pulo Teunom namanya. Tapi ya itu, bencana maha dahsyat penghujung tahun 2004 itu telah merenggut hampir semua penduduk di Pulo Teunom. Beberapa yang selamat dari bencana, kemudian dan hingga kini memilih tinggal di Pulo Breueh dan Pulo Nasi.


IMG_20220122_140811.jpg
IMG_20220122_141733.jpg
Boat penumpang menuju Pulo Aceh tengah menyusuri sungai dan saat tiba di mulut kuala Krueng Aceh.


Jadi yang hendak kusambangi atas ajakan teman sebagai acara pelesiran akhir pekan kemarin itu adalah Pulo Breuh. Dan setelah bersepakat setiba di Lampulo, kami memilih naik boat yang akan bersandar di Pelabuhan Gugop setiba di sana. Pukul 14.11 WIB, boat yang kami tumpangi angkat sauh.

Di dalam boat aku dan teman berbaur dengan para penumpang lainnya, yang dalam hitungan kasarku, sepertinya, tak lebih dari 30-an saja jumlahnya. Boat melaju tenang dan anggun. Beberapa penumpang, terutama perempuan dan anak-anak berhimpun di bagian buritan dan anjungan. Sementara penumpang laki-laki, termasuk aku, memilih meringkuk di geladak, namun beberapa juga dengan santainya berselonjor di atap anjungan.

Langit cerah. Biru bersih, ditingkahi gugusan awan putih sempurna. Boat sudah sampai di mulut kuala. Laut tengah surut rupanya. Ini dengan mudah bisa kutandai dari jejak garis air yang bersisa di deretan batu pemecah ombak. Tepat di penghujungnya boat berbelok agak ke barat.


IMG_20220122_143721.jpg
Suasana dalam boat paska 47 menit angkat sauh dari Lampulo.


Bagiku, titik mula pelayaran ke Pulo Aceh dimulai saat di mana juru mudi atawa pawang harus bermanuver kali pertama. Dan jika ada manuver pertama, pasti akan berlanjut dengan manuver-manuver selanjutnya.

Anggapanku sedemikian ada bukan tanpa alasan. Ini adalah kali ketiga aku ke Pulo Aceh. Kali pertama sewindu lewat. Perginya naik boat seperti ini juga. Kali kedua pada 2020, yang karena urusan pekerjaan, perginya difasilitasi pakai speedboat sewaan yang cuma muat 6 orang penumpang. Jadi pengalaman dua kali pergi ke Pulo Aceh sebelum ini, sedikit banyaknya bikin aku paham getir manis berlayar ke sana. Terutama berhubungan dengan urusan sebab musabab juru mudi boat bermanuver berkali.

"Sabar. Jangan panik dulu. Laut lagi surut surut begini, jalur keluar muara memang harus membelok ke kanan jika tidak ingin boat kandas lalu karam dihempas ombak," kata teman menenangkanku.

"Kenapa? Takut?" Seorang laki-laki tua yang meringkuk di depanku bertanya sambil setengah nyengir. Untuk pertanyaan yang keluar dari mulut seseorang yang dari gurat wajahnya saja tampak pengalaman dan pengetahuannya tentang kehidupan laut, aku sama sekali tak ingin berlagak gengsi-gengsian. Aku mengangguk kecil untuk pertanyaannya itu. Ia membalasnya dengan tawa.


IMG_20220122_152824.jpg
Laki-laki tua, bertudung handuk merah, yang bercerita banyak hal padaku.


"Maklum, Pak. Kami biasa tinggal di gunung," kilahku padanya.

Si bapak paruh baya berhenti ketawa, lalu dengan serius bercerita. Bahwa ini lagi musim timur. Cuaca laut sedang teduh-teduhnya. Tak bakal ada ombak yang bakal bikin pusing orang mabul laut sekalipun. Dua jam berlayar Lampulo-Gugop akan aman-aman saja. Begitu ia meyakinkanku, dan aku mengamininya.

"Cuma yang kuceritakan ini, ya, yang biasa kami hadapi ketika melaut. Musim timur biasanya teduh. Musim barat sebaliknya. Tetap saja di balik yang biasa-biasa saja ada banyak hal yang luar biasa. Kita manusia mana bisa menerka kehendak Yang Kuasa. Semisal Tuhan berkehendak kita ajal detik ini, bukan tidak mungkin lagi teduh-teduh begini ombak sebesar Masjid Raya menggulung boat kita saat ini juga," sambung si laki-laki tua sambil terkekeh-kekeh.

"Pak, jangan berdoa yang enggak-enggaklah," timpal temanku, perihal yang membuat kekehan laki-laki tua ini berlanjut.


IMG_20220122_153657.jpg
IMG_20220122_142622.jpg
Suasana laut yang teduh dengan siluet gugusan Pulau Weh, Sabang, sebagai latarnya.


Terlepas dari celotehan si laki-laki tua yang cukup bikin benak terlibat dalam pikiran ngeri-ngeri sedap, tapi kerap berujung pada gelak tawa. Satu jam sudah boat penumpang sederhana ini berlayar dengan santainya. Ombak hanya berupa riak-riak kecil. Laut seteduh keyakinan laki-laki tua terhadap teduhnya musim timur. Angin menyemilir melenakan mata. Matahari menyengat di batok kepala.

Moncong boat mengarah tegak ke barat laut. Di utara gugusan Pulau Weh Sabang tampak mengapung di garis horizon. Begitu pula Pulau Nasi dalam gugusan Pulo Aceh telah demikian nampak detilnya. Pelayaran tinggal satu jam lagi. Cerita kucukupkan dulu di sini. Nanti kusambung lagi.

Sila nikmati sematan foto-foto dari dalam boat yang sempat kupotret selagi ngobrol dengan si lelaki tua yang sangat ramah itu.


IMG_20220122_152709.jpg
Gugusan Pulo Nasi dan penggalan batok kepala temanku di sudut kanan bawah.


Bersambung...

Sort:  


The rewards earned on this comment will go directly to the person sharing the post on Twitter as long as they are registered with @poshtoken. Sign up at https://hiveposh.com.