MUKADDIMAH____
MISALNYA BEGINI. Kau telah menargetkan akan menikah semester pertama tahun ini, tapi kandas. Jangankan menikah. Calon pasangan hidup yang sebelumnya telah seia sekata akan melarung hidup bersama-sama hingga akhir hayat nanti, sudah tak lagi tampak batang hidungnya. Pesan WhatsApp hanya meninggalkan jejak centang satu, alih-alih masuk atau centang dua berwarna biru. Semisal berkunjung ke rumahnya pun, jangankan disambut ramah calon mertua atau calon adik ipar yang suka memalak dibelikan bakso. Kau malah menghadapi pintu pagar yang terus-terusan tergembok. Salam yang kau teriaki berkali-kali terbentur tembok.
Sungguh, perkara-perkara seperti itu lazim terjadi. Tapi kendati lazim, ianya kerap membuat orang merasa kiamat sendiri. Dunia runtuh. Hari-hari akan terjalani dengan perasaan yang penuh puing. Sekeras apa pun dan sepreman bagaimana pun kau selama ini, semua akan berubah jadi semacam lelehan, terutama ketika perasaan rindu dan rasa dikhianati bertemu di dalam benak. Tak ubahnya seperti bandang dan air pasang bertemu di mulut muara. Benakmu atau bahkan seisi tubuhmu—fisik, non-fisik—akan mengalami luka dalam. Luka yang menyayat. Tersayat-sayat.
Sedih betul!
Bagi mereka yang masih bisa menyisakan secuil kewarasan dalam rundung kesedihan begitu rupa akan mencoba bangkit senantiasa. Kendati dalam keaadan tertatih, setidaknya nalarnya masih berfungsi. Penghiburannya untuk diri sendiri adalah dengan mewanti-wanti bahwa ujian hidup bisa berlaku pada waktu yang terduga-duga dan ketidakterdugaan itu kerap berujung pada berkeping-kepingnya semua rencana. Apa boleh buat. Semua harus dilewati dengan lapang dada. Persoalan ada parut di dada yang lapang itu hanya pertanda bahwa kau benar-benar seorang manusia. Bukan jin, malaikat, binatang, atau rupa-rupa makhluk gaib yang tak punya perasaan itu.
Kalau sudah sampai di tingkat nalar begini. Kukira, kau sudah sampai pada titik pemulihan dari segala kepelikan yang ada. Tapi lambat-cepatnya pemulihan ini akan sangat dipengaruhi oleh cara bagaimana menjalankan pikiran yang kau punya. Berpikir normal, semisal pemikiran bahwa pra syarat kemanusiawian seseorang ditandai dengan ujian-ujian hidup seperti yang tengah kau hadapi itu hanya akan mendudukkanmu menjalani pemulihan dalam suasana penuh kemayu, mengharu biru.
Untuk pemulihan cepat kau butuh cara berpikir yang abnormal, di luar kebiasaan atawa kelaziman. Atau biar lebih mudah dipahami bolehlah dikatakan bahwa perkara-perkara pelik dalam hidup kadang perlu dipahami dengan cara-cara paling brengsek. Yang kesemuanya tentu saja bermula dari pikiran.
Cara berpikir paling brengsek yang dimaksud itu, perlu digaris bawahi, bukanlah dalam artian kehendak atau niat atau bahkan kesumat yang ujung-ujungnya mencelakakan. Tapi hanya sekadar cara bagaimana kau bisa menjadikan fakta-fakta, termasuk fakta pahit ditinggal pergi kekasih, sebagai bahan baku lelucon-lelucon gelap yang ketika kau utarakan ke orang lain mereka jadi terhibur tanpa sedikit pun curiga bahwa lelucon itu ada berdasarkan kisah nyata.
Bukankah yang demikian itu sama saja dengan menertawai diri sendiri? Lalu di mana brengseknya? Sebentar. Aku butuh waktu menjawab pertanyaan ini. Pelik juga rupanya. Nanti kusambung lagi.