AKU PULANG dari Nagan Raya dan menemukan Meulaboh dalam keadaan berkilauan, disepuh semburat senja. Itu pada satu petang pekan terakhir bulan Juli yang panas. Sejak dari lokasi PLTU Nagan Raya, kemudian berlanjut di perusahaan penambang Batu Bara, PT. MIFA, di mana jalanan sepanjang dua bangunan raksasa ini hanya layak diterabas oleh kendaraan offroad, berdebu sekaligus penuh lubang, kilau Meulaboh telah nampak menyemburat meski titik wujudnya masih belasan kilometer di depan.
Di Jembatan Besi atawa orang-orang di sana menyingkatnya dengan kata Jembes ketika melakabnya, yang memotong arus Krueng Leuhan di bawahnya, menggerung oleh lalu lalang kendaraan. Semuanya melaju dalam ketergesaan seseorang yang tengah mencret dan ia butuh bersegera ke jamban. Kilau Meulaboh kian kentara sesampai di jembatan dua jalur ini. Perihal yang mengharuskanku membuka papan sun visor di balik kaca mobil dan mata tak perlu memicing karenanya.
Meulaboh adalah ibukota Kabupaten Aceh Barat dan sejak dulu telah mewujud sebagai satu kota tersibuk di sepanjang pantai barat selatan Provinsi Aceh. Orang-orang akan selalu mengidentikkan kota ini dengan seorang tokoh intelejen paling masyhur zaman kolonial, Teuku Umar. Satu-satunya pahlawan Perang Aceh yang semasa hidupnya pernah disebut sebagai pembelot oleh kedua belah pihak yang berperang. Baik oleh pejuang Aceh maupun oleh kaphe Belanda.
Dan cerita bagaimana ia dengan seenak udelnya menyeberang ke pihak serdadu Belanda ketika ribuan pejuang Aceh tengah berdarah-darah mempertahankan kubu atau menyerang tangsi-tangsi militer, telah membuat Cut Nyak Dhien, isteri ketiganya yang juga dikenal sebagai ratu perang Aceh, berang bukan kepalang. Sampai-sampai, dalam satu riwayat, Cut Nyak Dhien pernah mengancam akan membunuh Teuku Umar dengan tangannya sendiri dan berserapah, "... sudah saya peringatkan jangan menyusu pada badak."
Teuku Umar membelot jadi bagian dari serdadu Belanda pada tahun 1893. Tiga tahun lamanya ia bergeming dari segala ancaman isterinya, sindiran dan sumpah serapah pejuang sebangsanya. Malah dalam waktu tiga tahun itu ia memperoleh kepercayaan Belanda hingga digelari Johan Pahlawan dan diberi keleluasaan membentuk skuad perangnya sendiri dengan pasokan senjata yang lengkap.
Kepercayaan itulah yang kemudian pada akhir Maret 1896 digunakan sedemikian lihainya oleh Teuku Umar bersama pasukannya untuk menyelinap balik ke barisan pejuang Aceh. Lantas hari-hari setelahnya adalah hari-hari di mana ratusan pucuk senjata dan puluhan ribu butir peluru akhirnya memakan tuannya sendiri melalui siasat perang Teuku Umar yang bikin gempar tidak hanya seluruh Hindia Belanda tapi juga negara Belanda di Eropa sana.
Ihwal Meulaboh identik dengan Teuku Umar adalah karena ia lahir dan menghembuskan nafas terakhirnya di daerah ini. Siasat perangnya yang sedemikian epik terus dikenang dari generasi ke generasi. Sama epiknya dengan cerita bagaimana pasukan setianya memanggul jasadnya setelah ia tertembak dalam satu pertempuran hebat pada Februari 1899 di Suak Ujong Kalak, satu desa pinggir laut belakang Kota Meulaboh. Hingga bisa dimakamkan dengan khidmat di Gampong Mugo, desa perbukitan di kaki pegunungan Peut Sagoe. Inilah aksi yang membuat kaphe Belanda gagal menunaikan ultimatumnya; akan menangkap Teuku Umar hidup atau mati tepat setelah ia meludahi kedigdayaan mereka tiga tahun sebelumnya.
Mengenang epos Teuku Umar selagi memasuki Kota Meulaboh yang disepuh senja petang itu. Aku jadi ingat pula pada satu taklimatnya ketika tengah mempersiapkan pasukannya untuk menyerang satu tangsi militer di kota Meulaboh.
"Beungoh singoh tajeb kupi di Meulaboh, atawa lon syahid."
"Esok pagi kita ngopi di Kota Meulaboh. Atau kalau tidak, saya telah syahid." Epik!